Data itupun ia ketahui saat menduduki kursi menteri di KKP.
Rumah tangga nelayan adalah rumah tangga, baik itu kepala keluarga maupun anggota keluarga yang melakukan aktivitas pekerjaan seperti memancing atau menjaring ikan dan hasil laut lainnya.
"Anyway dari sensus 2003 sampai 2013, itu ada 800 ribu jumlah rumah tangga nelayan yang hilang. Artinya jumlah rumah tangga nelayan itu 1.600.000, tapi turun menjadi 800 ribu saja, itu data KKP, saya tahu setelah di KKP, sebelumnya tidak tahu," tegas Susi.
Ia menekankan bahwa langkanya hasil perikanan yang biasa menjadi komoditas ekspor itu tidak hanya membuat hilangnya 800.000 rumah tangga nelayan saja, namun juga menjadi pukulan bagi para eksportir.
Saat itu ada lebih dari 100 eksportir termasuk dirinya yang harus menghentikan kegiatan ekspor karena keterbatasan hasil perikanan.
"Jadi selain rumah tangga nelayan yang turun, ada 115 eksportir yang tutup selama satu dekade itu, dan ya termasuk kita (bisnis saya karena) tidak punya bahan baku," tutur Susi.
Sedangkan terkait illegal fishing, Susi mengaku 'rajin teriak' sejak 2005 lalu.
Namun saat itu ia merasa tidak ada yang mau mendengarkan teriakannya karena ia 'bukan siapa-siapa'.
"Tapi kalau illegal fishing saya sudah tahu dari tahun 2005, tahun itu saya sudah teriak tentang illegal fishing, tapi ya tidak ada yang dengar 'Susi siapa?' tidak ada yang dengar," papar Susi.
Akhirnya Susi memiliki kesempatan untuk kembali meneriakkan 'sikap anti' terhadap illegal fishing, saat ia menjabat sebagai orang nomor satu di KKP.
Ia menerapkan kebijakan tegas untuk menenggelamkan setiap kapal yang melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia.