Alumni lulusan sarjana kedokteran Universitas Udayana, Bali pada tahun 1972 ini, memilih mempelajari ilmu psikogi untuk melanjutkan pendidikannya.
Ketertarikannya di dunia psikologi semakin kuat saat ingin mengenal lebih dalam tentang dirinya.
Kemudian Suryani memilih karier sebagai Asisten Neuropsychiatry di universitas yang sama pada tahun 1974.
Lalu pada tahun 1981, saat akan melanjutkan kuliah S2 di jurusan psikologi, kemampuan Suryani diremehkan oleh profesor.
“Dia mengatakan saya tidak mampu. Padahal selama tujuh tahun saya mengabdi, sudah banyak yang saya ubah, khususnya pasien syaraf. Lalu saya minta dia untuk menguji saya. Jika memang saya tidak mampu, saya akan keluar dari bidang ini,” Cerita Suryani dikutip dari tabloid NOVA.
Meski dianggap remeh, Suryani tak menyerah.
Perempuan yang kini berusia 77 tahun itu tetap gigih dan melanjutkan pendidikan Masternya di Universitas Airlangga, Surabaya.
Ia membuktikan bahwa dirinya mampu mengambil kajian tersebut.
Apalagi kajian yang dipelajarinya berkaitan dengan ilmu psikologi dan budaya.
Suryani menggabungkan dua kajian tersebut, yakni modern dan tradisional, untuk menemukan ketenangan batin dan jiwa.
Perempuan yang kini telah meraih gelar profesornya itu percaya jika hasil penggabungan dua aspek tersebut, mampu menghasilkan pemulihan jiwa.