Menurut Sudjiwo, mural menjadi satu di antara sejumlah cara masyarakat menyampaikan keluh kesahnya.
"Kalau misalkan 'Mari kita sehat di negara yang sakit' itu ditahan-tahan, enggak diungkapkan, lama-lama bisa stroke secara sosial," katanya.
"Stroke-nya itu pemberontakan, itu lebih bahaya."
"Ini orang ketawa-ketawa kok nonton kalau jujur."
Selain menjadi media kritik, kata Sudjiwo, mural juga bisa menjadi media hiburan masyarakat.
Karena itu, menurutnya mural juga bisa menghilangkan kejenuhan masyarakat.
"Tapi terhibur, perjalanan dari pabrik ke rumahnya menjadi perjalanan psikologis," katanya.
"Manusia modern itu stres karena dari rumah ke tempat kerja perjalanannya fisik aja enggak ada hiburan di kiri kanan."
Sudjiwo melanjutkan, meski mural sudah dihapus, ingatan masyarakat soal kritik terhadapJokowitak akan hilang.
"Mural itu seperti kerinduan yang enggak bisa dihapus."
"Mural bisa dihapus, tapi 'Tuhan aku lapar' semakin nempel di orang," tukasnya.
Di sisi lain, debat sengit terjadi antara Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin dan pengamat politik Said Didu.