Perjalanan gerakan kepanduan dilansirKompas.com dari, 30 Juli 2021, kemunculan gerakan kepanduan di Indonesia berawal dari dua orang tokoh organisasi kepanduan Belanda, Nederlands Padvinders Organisatie (NPO) yaitu P.Y. Smits dan Majoor de Yager.
Pada 1912, kedua tokoh itu mendirikan cabang NPO di Jakarta, yang awalnya diperuntukkan bagi remaja dan pemuda Belanda yang tertarik dalam kegiatan kepanduan.
Berselang dua tahun, yakni pada 4 September 1914, nama NPO diubah menjadi Nederlands Indische Padvinders Vereniging (NIPV) dan mulai menerima anggota remaja bumiputera.
Setelah itu, pada 1916, berdiri organisasi padvinderij nasional pertama bernama Javaanse Padvinders Organisatie (JPO) yang diprakarsai oleh Mangkunegara VII di Surakarta, Jawa Tengah.
Kelahiran JPO mendorong lahirnya berbagai organiasi sejenis yang bernaung di bawah organisasi kebangsaan dan keagamaan yang ada pada saat itu.
Misalnya Hizboel Wathan di bawah Muhammadiyah, Wira Tamtama di bawah Sarekat Islam, Nationale Padvinderij di bawah Budi Otomo, dan Jong Java Padvinderij di bawah Jong Java Mataram.
Terdapat kesamaan dalam gerakan kepanduan pada masa itu, yakni bersikap pro atau mendukung kemerdekaan Indonesia dari jajahan Belanda.
Akan tetapi, sikap tersebut ditentang oleh pemerintah kolonial Belanda yang akhirnya melarang organisasi kepanduan pro kemerdekaan untuk menggunakan nama "padvinder" dan "padvinderij".
Pada 1928, salah satu tokoh nasional, Haji Agus Salim, akhirnya mengusulkan nama "pandu" dan "kepanduan" untuk menggantikan nama yang dilarang oleh Belanda.
Wacana untuk melebur berbagai gerakan kepanduan di Indonesia menjadi satu wadah sebenarnya sudah ada sejak tahun 1928.
Akan tetapi, karena adanya perbedaan asas masing-masing organisasi, maka upaya peleburan itu selalu menemui jalan buntu.