"Representasi emas sebagai simbol kekayaan dan kekayaan adalah harga diri, maka untuk orang tertentu menyempatkan diri untuk pinjam perhiasan agar dipandang orang kaya atau orang sukses," imbuh Nina.
Sedangkan di era modernitas, di kalangan masyarakat perkotaan, simbol kesuksesan bergeser menjadi barang-barang bermerek, baik yang sifatnya mass production maupun custom, yang biasanya untuk masyarakat yang high end (kelas atas).
Di media sosial, aksi pamer harta dengan memamerkan barang-barang branded ini pun tak kalah ramai seperti challenge review saldo ATM ataupun tabungan.
Pamer harta yang akan dilakukan orang-orang ini, seperti pamer tas mahal, sepatu, jam tangan, dan lain sebagainya.
Pada era ini, lanjut Nina, kepemilikan seseorang akan produk yang sifatnya limited edition atau terbatas sering diberitakan oleh media mainstream.
Tentu saja pemiliknya adalah figur publikyang sudah dikenal kaya, misalnya pengusaha.
Konsumen dari pamer kekayaan lebih luas karena diliput oleh media.
Di era digital, kata Nina, ruang untuk pamer harta atau kekayaan difasilitasi oleh media sosial yang sifatnya users generated content, sehingga ruang pamer ini pun bergeser ke arah digital.
"Media menjadi outlet individu untuk memamerkan kekayaan, apalagi ternyata pamer kekayaan merupakan sebuah konten yang disukai oleh viewer," imbuhnya.
Bahkan, Nina menjelaskan, kini pamer harta maknanya bukan hanya sekadar harga diri, melainkan sudah bergeser ke arah ekonomi, yaitu untuk mengejar viewer dan subscriber sebanyak-banyaknya.
Implikasinya adalah uang atau penghasilan. "Kini artis banyak yang berprofesi sebagai YouTuber," kata Nina.