Kedua studi ini di antaranya tentang 'Infeksi SARS-CoV-2, Penyakit dan Penularan pada Kucing Domestik' dan studi tentang 'Kerentanan sel babi dan babi domestik terhadap SARS-CoV-2'.
Bersama peneliti di K-State Biosecurity Research Institute, atau BRI, para peneliti ini menemukan bahwa kucing domestik mungkin tidak memiliki tanda klinis SARS-CoV-2 yang jelas.
Akan tetapi, kucing-kucing ini masih dapat menularkan virus corona baru tersebut melalui rongga hidung, mulut, rektal dan secara efisien dapat menulari kucing lain dalam dua hari.
Kendati demikian, studi lebih lanjut tetap diperlukan untuk mempelajari apakah kucing domestik dapat menyebarkan virus ke hewan dan manusia lain.
"Efisiensi penularan antara kucing domestik menunjukkan secara signifikan perlunya menyelidiki rantai penularan antara manusia-kucing-manusia yang potensial terjadi," kata Richt.
Sedangkan analisis studi pada babi, peneliti menemukan bahwa babi yang terinfeksi SARS-CoV-2 tidak rentan terhadap infeksi tersebut dan tampaknya tidak menularkan virus tersebut ke hewan lain.
"Babi memainkan peran penting dalam pertanian di AS, yang membuatnya sangat penting untuk menentukan potensi kerentanan terhadap SARS-CoV-2. Hasilnya babi tidak mungkin menjadi pembawa virus tersebut," imbuh direktur Center of Excellence for Emerging and Zoonotic Animal Diseases di universitas tersebut.
Richt dan timnya berencana untuk melakukan studi lebih lanjut untuk lebih memahami penularan virus corona pada kucing dan babi.
Selain itu, mereka juga berencana untuk mempelajari apakah kucing kebal terhadap infeksi ulang dari virus penyebab Covid-19, setelah kucing pulih dari infeksi primer SARS-CoV-2.