Mereka menilai ada beragam poin yang merugikan pekerja di dalam UU Cipta Kerja.
Di antaranya adalah penghapusan upah minimum kabupaten/kota (UMK), diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Penggantian ini dinilai akan upah pekerja lebih rendah.
Kemudian, dalam draf omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan bahwa waktu lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.
Suasana pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang.
Ketentuan tersebut lebih lama dibandingkan UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menyebut kerja lembur dalam sehari maksimal tiga jam dan 14 jam dalam satu minggu.
Hal lain yang dipermasalahkan adalah salah satu poin pada Pasal 61 yang mengatur waktu berakhirnya perjanjian kerja.
Jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha, sehingga berpotensi membuat status kontrak pekerja abadi, bahkan pengusaha dinilai dapat mem-PHK pekerja sewaktu-waktu.
Permasalahan cuti yang tertera pada Pasal 79 ayat 2 poin b juga dianggap bermasalah.
Sebab tertulis, waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
Selain itu dalam ayat 5, RUU juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun.