Dengan demikian, lanjut Dwikorita, penularan virus corona dari orang ke orang melalui lingkungan iklim tropis cenderung terhambat dan akhirnya kapasitas peningkatan kasus terinfeksi untuk menjadi pandemik juga akan terhambat.
Kajian tim gabungan ini menjelaskan, analisis statistik dan hasil pemodelan matematis di beberapa penelitian di atas mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang linggi.
Namun, bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang ke dua.
Peningkatan kasus dipengaruhi mobilitas manusia
Meningkatnya kasus pada gelombang kedua saat ini di Indonesia tampaknya lebih kuat dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial.
Kondisi cuaca atau iklim serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk berkembangnya wabah Covid-19. Namun, fakta menunjukkan terjadinya lonjakan kasus akibat virus SARS-CoV-2 di Indonesia sejak awal Maret 2020.
"Indonesia yang terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27 hingga 30 derajat celsius dan kelembapan udara berkisar antara 70-95 persen, dari kajian literatur sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak Covid-19," kata Dwikorita.
Berdasarkan fakta dan kajian terhadap beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya, tim gabungan antara BMKG dan UGM ini merekomendasikan, apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat (Luo et. al. 2020 dan Poirier et. al., 2020), maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam mengurangi risiko penyebaran wabah yang terjadi.
Waspada demam berdarah