“Jadi sehari-hari kalau ingin melepas rindu hanya lewat komunikasi telepon saja,” imbuhnya.
Diantara keempat anaknya hanya yang terakhir yang diajak ke Matalaang, sedang tiga lainnya tinggal bersama suaminya di Pangkep.
“Bungsu saya ketika masih berumur tiga bulan sudah saya boyong kemari naik perahu di tengah ombak besar,” cerita Sriani yang menceritakan dengan mata berkaca-kaca.
Saat inipun dia tak berani terlalu lama meninggalkan Matalaang. Ketika pulang ke Pangkep paling lama dua minggu dia harus segera kembali.
“Saya khawatir ada warga Matalaang sakit sementara saya tidak berada di tempat,” katanya.
Padahal pengorbanannya sebagai sorang bidan honorer yang begitu besar dengan penghasilan yang didapat setiap bulannya sangat tidak sebanding. Sebagai tenaga honorer mendapat gaji Rp 500 ribu per bulan. Gaji itupun terkadang baru diterima tiga atau empat bukan sekali.
Kendati antara pengorbanan dengan hasil yang didapat terlalu kecil tapi bagi Sriani tidak ada kata penyesalan. Justru disinilah letak hakikat pengabdian.
“Bahkan saya berharap, saya tidak dipindah ke daerah lain. Karena saya sangat mencintai profesi ini sekaligus saya mencintai masyarakat Matalaang. Bagi saya masyarakat Matalaang sudah menjadi bagian dari keluarga sendiri,” pungkasnya.
Gandhi Wasono