Sesekali, dengan ujung jilbabnya ia tampak mengusap matanya. Mungkin titik air mata tak kuasa ia tahan untuk keluar dari sepasang mata yang tersembunyi di balik kacamata hitamnya.
"Duduk saja dulu Bu Nyai," bujuk dokter perempuan yang terus mendampinginya.
Bu Nyai menggeleng lemah, sambil terus menatap areal pemakaman yang sebenarnya khusus diperuntukkan bagi penduduk Makkah tersebut.
Namun akhirnya perempuan itu pun menuruti bujukan sang dokter dan kerabat. Ia pun terduduk di kursi roda yang memang sengaja dibawa untuknya.
“Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu. Allahumma la tahrimna ajrahu, wa laa taftina ba'dahu waghfirlana wa lahu,” terdengar sayup-sayup doa dari Nyai Heni.
"Wong semalem masih ngobrol kok. Proses perginya almarhum cepat sekali," kata Bu Nyai bercerita saat-saat terakhir sang suami.
Nyai Heni Maryam saat menyaksikan pemakaman suaminya KH Maimoen Zubaer dari balik pagar besi pemakaman Ma’la. Nyai Heni dilarang mendekat ke pusara Mbah Moen karena aturan di Arab Saudi yang melarang perempuan masuk ke makam.
Kalimat istighfar tak henti keluar dari bibirnya yang bergetar, seakan ingin menguatkan hati atas kepergian Sang Suami yang tiba-tiba.
"Bu Nyai mendampingi almarhum sejak jam 03.00 pagi tadi, waktu Kyai dibawa ke RS," ujar dokter yang selalu berada di samping Bu Nyai.
"Jam 04.00 pagi, saat kami menunggu di luar ruang rawat almarhum, tiba-tiba hujan di Kota Makkah. Kami semua gak tahu kok ya menangis semua. Bu Nyai juga. Mbah Kyai kepundut pukul 04.17," imbuhnya.