Ia kelahiran Desa Gadungan yang berjarak sekitar 8 kilometer dari tempatnya sekarang ini.
"Kalau dikait-kaitkan dengan peristiwa zaman dulu soal masa kecil saya, ya saya sudah lupa. Namun, ketika zaman penjajah Jepang, saya sudah beristri yang keenam. Sebab, kelima istri saya itu meninggal dunia sehingga saya menikah lagi dan dapat istri orang Ponorogo, namanya Suminem. Ia meninggal dunia ketika Indonesia merdeka," paparnya.
Sebanyak enam kali menikah itu, ia mengatakan dikaruniai 18 anak.
Namun, 17 anaknya sudah meninggal dunia dan tinggal satu orang, yakni Ginem yang hidup bersamanya dan mengalami keterbelakangan mental.
Mbah Arjo bercerita, saat zaman perjuangan, ia sering bertemu Bung Karno dan Supriadi, pahlawan Pembela Tanah Air (Peta).
Oleh Bung Karno dan Supriadi, ia disuruh menemani melakukan ritual di lerang Gunung Gedang, yang kini menjadi tempat tinggalnya.
"Saat itu saya sudah tua. Pak Karno dan Pak Supriadi masih jejaka sehingga kalau memanggil saya mbah," ujar Mbah Arjo.
Mereka bertemu pada suatu malam dan Mbah Arjo disuruh menemani ritual di lereng Gunung Kelud itu.
"Kalau ritual, saya hanya duduk di sampingnya sampai terdengar ayam berkokok. Namun, antara Pak Karno dan Pak Supriadi, seingat saya, tak pernah melakukan ritual bersama di sini. Saat itu saya lupa sedang terjadi peristiwa apa di Indonesia. Namun, sepertinya sebelum kemerdekaan," katanya.
Dari pengalaman spritualnya itu, ia akhirnya memilih meninggalkan kampungnya dan tinggal di gubuk itu sejak 1990-an.